Selasa, 25 Oktober 2011

Prospek Keberaksaraan Bahasa Persatuan

Tidak ada komentar:
FRIDAY, 21 OCTOBER 2011
Maryanto,
Pemerhati Politik Bahasa

Teriakan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bakal tetap terdengar nyaring. Setiap generasi selalu berteriak "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Teriakan generasi muda perlu terus diikuti gerakan menguatkan tradisi keberaksaraan (literasi) bahasa Indonesia agar gelora Sumpah Pemuda bukan slogan belaka.
Sumpah Pemuda sudah menggelorakan semangat Indonesia bersatu dengan tiga pilar: tanah air, bangsa, dan bahasa. Pilar-pilar persatuan Indonesia itu pernah ditegaskan oleh M. Tabrani pada 1938, tepatnya pada Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, Jawa Tengah. Pada saat itu, pencetus ide bahasa Indonesia tersebut menggunakan ungkapan berbahasa satu, bahasa Indonesia. Menurut dia, Sumpah Pemuda merupakan janji mewujudkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.
Sumpah Pemuda dengan jelas mencita-citakan terwujudnya satu bahasa Indonesia sebagai wadah keberaksaraan atau literasi khas bangsa Indonesia. Sebelum era Sumpah Pemuda, pemerintah Hindia Belanda sudah merancang tradisi keberaksaraan bahasa Melayu. Kitab Logat Melajoe (Van Ophuijsen, 1901) boleh disebut sebagai cetak biru literasi bagi bangsa jajahan Belanda ini.

Senin, 24 Oktober 2011

Minat Baca Remaja Kita

Tidak ada komentar:
SABTU, 22 OKTOBER 2011

Agus M. Irkham,
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

Memperingati Hari Aksara Internasional yang dirayakan-tunda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta pada 21 Oktober 2011, marilah kita menengok kemampuan keberaksaraan remaja kita.
Programme for International Student Assessment/PISA (2009) menunjukkan skor rata-rata kemampuan membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata-rata negara Organization for Economic Cooperation and Development (493). Indonesia menempati peringkat ke-58 dari 65 negara peserta studi PISA 2009. Dengan begitu, Indonesia berada di bawah Montenegro (408), Yordania (405), dan Tunisia (404).

Minggu, 09 Oktober 2011

Refleksi Hari Aksara: Menggelorakan Budaya Baca

Tidak ada komentar:
Jum'at, 09 September 2011

TEMPO Interaktif 

Data Kementerian Pendidikan Nasional melalui survei Pusat Statistik Pendidikan 2010 menunjukkan jumlah penduduk buta aksara di Indonesia tercatat mencapai 8,7 juta orang atau 5,1 persen dari jumlah penduduk. Dalam momentum Hari Aksara, yang rutin diperingati pada 8 September, bangsa Indonesia perlu merefleksikan diri untuk mengukur kadar minat baca dan melakukan gerakan membaca buku sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi, sehingga problem buta aksara bisa diatasi.

Buku menjadi simbol kemajuan tradisi ilmiah. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib secara implisit menganjurkan agar buku diletakkan sebagai kunci tradisi keilmuan dengan mengatakan "ikatlah ilmu dengan menulis". Pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada pemerintahan Harun al-Rasyid, buku begitu diistimewakan. Perpustakaan penuh dengan ide besar yang tertuang dalam buku berjilid.

Urgensi baca
Hasil penelitian yang dipublikasikan Universitas Oxford memaparkan remaja berusia 16 tahun yang membaca minimal satu buku selama sebulan akan menempati level manajerial atau profesional pada usia 33 tahun. Hasil riset itu menunjukkan korelasi positif kesuksesan pendidikan anak dengan kemampuan membaca. Semakin rendah minat baca, maka akan berakibat pada rendahnya daya saing anak dalam percaturan internasional, yang berarti pula ancaman dropout sekolah, kemiskinan, dan pengangguran semakin menganga. Sejarah belum pernah mencatat ada orang pintar dan hebat yang sedikit membaca. Nabi Muhammad saja (yang bukan berasal dari golongan pembaca) di awal misi kerasulannya diperintah untuk membaca (iqra'). Apalagi sekarang ini, di tengah kondisi bangsa yang terpuruk, generasi membaca mutlak dibutuhkan.

Selasa, 04 Oktober 2011

WS. Rendra

Tidak ada komentar:

Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir Solo, 7 November 1935) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu. Ia memulai pendidikannya dari TK (1942) hingga menyelesaikan sekolah menengah atasnya, SMA (1952), di sekolah Katolik, St. Yosef di kota Solo. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.

Dari Membaca ke Penulis

Tidak ada komentar:

Sumber: Koran Tempo
Selasa, 27 September 2011
Agus M. Irkham,

Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

Ada yang silap. Berbilang komunitas baca mengkampanyekan pentingnya kegiatan membaca (buku) tapi tidak disertai pula dengan pengaksentuasian budaya menulis. Bahkan, di kalangan para penggiatnya sekalipun, keprigelan menulis kerap menjadi nomor sepatu--dalam prioritas penguasaan keterampilan yang harus dimiliki. Tak terkecuali para pengelola taman bacaan masyarakat (TBM). Mereka asyik mengumpulkan dan meminjamkan buku, mengajak khalayak membaca buku, menggelar beragam acara, tapi giliran diminta menuliskan beberan aktivitas literasi itu, mereka tertatih-tatih. Jarak otak dan tangan laksana ratusan kilometer. Meski satu tulisan, lama sekali dirampungkan.

TBM merupakan salah satu program aksi peningkatan dan pengembangan budaya baca. Program ini digagas sebagai bentuk sikap afirmatif pemerintah Indonesia terhadap Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment-LIFE) yang dicanangkan UNESCO. Harapan terjauh dari keberadaan TBM adalah menumbuhkan minat, kecintaan, serta kegemaran membaca dan belajar masyarakat, sehingga dapat memperkaya pengetahuan, wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, pemahaman norma dan aturan, sekaligus dalam hal pemberdayaan masyarakat (Dikmas, 2009).