SABTU, 22 OKTOBER 2011
Agus M. Irkham,
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
Memperingati Hari Aksara Internasional yang dirayakan-tunda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta pada 21 Oktober 2011, marilah kita menengok kemampuan keberaksaraan remaja kita.
Programme for International Student Assessment/PISA (2009) menunjukkan skor rata-rata kemampuan membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata-rata negara Organization for Economic Cooperation and Development (493). Indonesia menempati peringkat ke-58 dari 65 negara peserta studi PISA 2009. Dengan begitu, Indonesia berada di bawah Montenegro (408), Yordania (405), dan Tunisia (404).
Masih berdasarkan studi PISA dari enam tingkatan (level) kemampuan membaca, dan menghubungkan satu atau banyak informasi, baik yang bertalian maupun bertentangan, lebih dari 50 persen siswa Indonesia berada pada level ke-2. Adapun kemampuan menafsirkan dan memadukan informasi skornya hanya 399 atau peringkat ke-56 dari 65 negara. Bagaimana dengan tingkat kemampuan memadukan atau menginterpretasikan informasi? Lebih parah lagi. Lebih dari 50 persen siswa Indonesia menempati peringkat di bawah level ke-2.
Hasil temuan PISA tidak berlebihan. Simpulan itu saya sandarkan, misalnya pada kecenderungan turunnya nilai ujian nasional bahasa Indonesia, baik pada siswa sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Pada 2006, rerata nilai UN bahasa Indonesia pada siswa SMP adalah 7,46, pada 2007: 7,39, dan pada 2008: 7,00. Adapun siswa SMA pada 2006: 7,40, pada 2007: 7,08, dan pada 2008: 6,56. Bahkan, ironisnya, rerata nilai bahasa Indonesia justru lebih rendah dibanding bahasa Inggris. Dan tidak sedikit pula siswa yang tidak lulus karena jatuh di nilai pelajaran bahasa Indonesia.
Salah satu penyebab tingkat kemampuan membaca remaja Indonesia rendah, menurut PISA, adalah kemampuan membaca yang sudah dimiliki jarang dipraktekkan (digunakan). Dan benar saja, berdasarkan beberan perangkaan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang membaca surat kabar dan majalah pada 2003 sebesar 23,7 persen. Turun menjadi 18,94 persen pada 2009. Adapun persentase penonton televisi meroket tajam. Pada 2009 sudah mencapai 90,27 persen, sedangkan pada 2003 "baru" berada di kisaran 84,94 persen.
Padahal, menurut laporan studi PISA, remaja dari berbagai kalangan, termasuk dari latar belakang ekonomi yang paling kurang mampu sekalipun, dapat lebih cemerlang daripada teman-teman sebaya mereka yang lebih kaya jika mereka secara teratur membaca buku, surat kabar, dan jenis bacaan lainnya di luar sekolah (Ella Yulaelawati, 2011).
Penyebab lain mengapa kemampuan membaca remaja kita rendah, yang berarti linear dengan minat membaca buku yang rendah pula, adalah pesona simulasi pertandaan yang ditimbulkan oleh Internet dan telepon seluler--keduanya kini terintegrasi.
Di Indonesia, game online sudah diakrabi tak kurang dari 30 juta orang--yang tentu saja didominasi oleh kelompok umur muda atau remaja. Pengguna PlayStation 25 juta orang. Pengguna Facebook 38 juta orang, yang artinya peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat. Pengguna Twitter 5,1 juta orang (peringkat ke-2 setelah Jepang).
Jumlah pengguna telepon seluler pada 2007 sebanyak 58 juta orang. Pada 2010 sudah menembus angka 180 juta orang. Dari total pengguna Internet di dunia, proporsi Indonesia pada 2006 sekitar 2,6 persen, dan naik menjadi 8,7 persen pada 2009. Artinya, secara absolut, selama tiga tahun naik lebih dari 300 persen.
Tapi tentu saja deretan paparan di atas tidak serta-merta seluruhnya menghasilkan gelapnya masa depan budaya baca di Indonesia. Perkembangan Internet dan gadget justru membuka terobosan baru modus penumbuhan minat baca dan menulis pada para remaja. Persis karakteristik mereka sebagai generasi Platinum.
Generasi Platinum, kata Bambang Trim (2011), memiliki karakteristik tumbuh bersama website, blog , dan media sosial. Mereka juga memiliki kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi, serta memiliki kemampuan lebih dalam pengembangan diri serta cepat akrab dengan teknologi tinggi. Selain itu, mereka punya potensi sebagai produsen, kreator, dan inisiator. Dan tak kalah penting, terkadang mereka lebih cerdas daripada yang kita duga.
Wujud aktualnya?
IndoHogwarts adalah komunitas penggemar Harry Potter yang beranggotakan mayoritas anak usia SMP dan SMA. Mereka membangun sebuah sistem game online berupa permainan karakter dalam bentuk tulisan (berbasis teks). Harry Potter hanya digunakan sebagai pintu masuk, setelah itu mereka tinggalkan. Persis bunyi tagline mereka:empowering, netwriting and get value .
IndoHogwarts, peraih Anugerah Literasi World Book Day Indonesia 2009, merupakan representasi komunitas literasi generasi ketiga yang naga-naganya akan mendominasi bentuk dan arah gerakan budaya baca di masa mendatang. Tak terkecuali gerakan membaca yang diprakarsai oleh Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
TBM tidak berada dalam ruang vakum udara. Ia senantiasa berkait-jalin dengan kenyataan kehidupan. Karena itu, ia mesti bersifat pegas pula terhadap perubahan zaman. Salah satu bentuk kelenturan itu adalah kesediaan dan kesigapan TBM mengadopsi pola serta modus ikon budaya pop ke dalam aktivitas program membaca. TBM, mau tidak mau, suka tak suka, mesti masuk ke model gerakan membaca generasi ketiga. Gerakan membaca yang mampu menindih perkembangan teknologi informasi dan pergeseran adab masyarakatnya.
Padahal, menurut laporan studi PISA, remaja dari berbagai kalangan, termasuk dari latar belakang ekonomi yang paling kurang mampu sekalipun, dapat lebih cemerlang daripada teman-teman sebaya mereka yang lebih kaya jika mereka secara teratur membaca buku, surat kabar, dan jenis bacaan lainnya di luar sekolah (Ella Yulaelawati, 2011).
Agus M. Irkham,
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
Memperingati Hari Aksara Internasional yang dirayakan-tunda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta pada 21 Oktober 2011, marilah kita menengok kemampuan keberaksaraan remaja kita.
Programme for International Student Assessment/PISA (2009) menunjukkan skor rata-rata kemampuan membaca remaja Indonesia adalah 402, di bawah skor rata-rata negara Organization for Economic Cooperation and Development (493). Indonesia menempati peringkat ke-58 dari 65 negara peserta studi PISA 2009. Dengan begitu, Indonesia berada di bawah Montenegro (408), Yordania (405), dan Tunisia (404).
Masih berdasarkan studi PISA dari enam tingkatan (level) kemampuan membaca, dan menghubungkan satu atau banyak informasi, baik yang bertalian maupun bertentangan, lebih dari 50 persen siswa Indonesia berada pada level ke-2. Adapun kemampuan menafsirkan dan memadukan informasi skornya hanya 399 atau peringkat ke-56 dari 65 negara. Bagaimana dengan tingkat kemampuan memadukan atau menginterpretasikan informasi? Lebih parah lagi. Lebih dari 50 persen siswa Indonesia menempati peringkat di bawah level ke-2.
Hasil temuan PISA tidak berlebihan. Simpulan itu saya sandarkan, misalnya pada kecenderungan turunnya nilai ujian nasional bahasa Indonesia, baik pada siswa sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Pada 2006, rerata nilai UN bahasa Indonesia pada siswa SMP adalah 7,46, pada 2007: 7,39, dan pada 2008: 7,00. Adapun siswa SMA pada 2006: 7,40, pada 2007: 7,08, dan pada 2008: 6,56. Bahkan, ironisnya, rerata nilai bahasa Indonesia justru lebih rendah dibanding bahasa Inggris. Dan tidak sedikit pula siswa yang tidak lulus karena jatuh di nilai pelajaran bahasa Indonesia.
Salah satu penyebab tingkat kemampuan membaca remaja Indonesia rendah, menurut PISA, adalah kemampuan membaca yang sudah dimiliki jarang dipraktekkan (digunakan). Dan benar saja, berdasarkan beberan perangkaan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, persentase penduduk umur 10 tahun ke atas yang membaca surat kabar dan majalah pada 2003 sebesar 23,7 persen. Turun menjadi 18,94 persen pada 2009. Adapun persentase penonton televisi meroket tajam. Pada 2009 sudah mencapai 90,27 persen, sedangkan pada 2003 "baru" berada di kisaran 84,94 persen.
Padahal, menurut laporan studi PISA, remaja dari berbagai kalangan, termasuk dari latar belakang ekonomi yang paling kurang mampu sekalipun, dapat lebih cemerlang daripada teman-teman sebaya mereka yang lebih kaya jika mereka secara teratur membaca buku, surat kabar, dan jenis bacaan lainnya di luar sekolah (Ella Yulaelawati, 2011).
Penyebab lain mengapa kemampuan membaca remaja kita rendah, yang berarti linear dengan minat membaca buku yang rendah pula, adalah pesona simulasi pertandaan yang ditimbulkan oleh Internet dan telepon seluler--keduanya kini terintegrasi.
Di Indonesia, game online sudah diakrabi tak kurang dari 30 juta orang--yang tentu saja didominasi oleh kelompok umur muda atau remaja. Pengguna PlayStation 25 juta orang. Pengguna Facebook 38 juta orang, yang artinya peringkat ke-2 dunia setelah Amerika Serikat. Pengguna Twitter 5,1 juta orang (peringkat ke-2 setelah Jepang).
Jumlah pengguna telepon seluler pada 2007 sebanyak 58 juta orang. Pada 2010 sudah menembus angka 180 juta orang. Dari total pengguna Internet di dunia, proporsi Indonesia pada 2006 sekitar 2,6 persen, dan naik menjadi 8,7 persen pada 2009. Artinya, secara absolut, selama tiga tahun naik lebih dari 300 persen.
Tapi tentu saja deretan paparan di atas tidak serta-merta seluruhnya menghasilkan gelapnya masa depan budaya baca di Indonesia. Perkembangan Internet dan gadget justru membuka terobosan baru modus penumbuhan minat baca dan menulis pada para remaja. Persis karakteristik mereka sebagai generasi Platinum.
Generasi Platinum, kata Bambang Trim (2011), memiliki karakteristik tumbuh bersama website, blog , dan media sosial. Mereka juga memiliki kemampuan tinggi dalam mengakses dan mengakomodasi informasi, serta memiliki kemampuan lebih dalam pengembangan diri serta cepat akrab dengan teknologi tinggi. Selain itu, mereka punya potensi sebagai produsen, kreator, dan inisiator. Dan tak kalah penting, terkadang mereka lebih cerdas daripada yang kita duga.
Wujud aktualnya?
IndoHogwarts adalah komunitas penggemar Harry Potter yang beranggotakan mayoritas anak usia SMP dan SMA. Mereka membangun sebuah sistem game online berupa permainan karakter dalam bentuk tulisan (berbasis teks). Harry Potter hanya digunakan sebagai pintu masuk, setelah itu mereka tinggalkan. Persis bunyi tagline mereka:empowering, netwriting and get value .
IndoHogwarts, peraih Anugerah Literasi World Book Day Indonesia 2009, merupakan representasi komunitas literasi generasi ketiga yang naga-naganya akan mendominasi bentuk dan arah gerakan budaya baca di masa mendatang. Tak terkecuali gerakan membaca yang diprakarsai oleh Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
TBM tidak berada dalam ruang vakum udara. Ia senantiasa berkait-jalin dengan kenyataan kehidupan. Karena itu, ia mesti bersifat pegas pula terhadap perubahan zaman. Salah satu bentuk kelenturan itu adalah kesediaan dan kesigapan TBM mengadopsi pola serta modus ikon budaya pop ke dalam aktivitas program membaca. TBM, mau tidak mau, suka tak suka, mesti masuk ke model gerakan membaca generasi ketiga. Gerakan membaca yang mampu menindih perkembangan teknologi informasi dan pergeseran adab masyarakatnya.
Padahal, menurut laporan studi PISA, remaja dari berbagai kalangan, termasuk dari latar belakang ekonomi yang paling kurang mampu sekalipun, dapat lebih cemerlang daripada teman-teman sebaya mereka yang lebih kaya jika mereka secara teratur membaca buku, surat kabar, dan jenis bacaan lainnya di luar sekolah (Ella Yulaelawati, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar