Oleh: Husein Ja'far al_Hadar
Peminat Studi Agama dan Filsafat
Sumber: Koran Tempo 15 Januari 2012
Sosok Steve Jobs yang begitu tenar dan fenomenal setahun terakhir ini secara tak langsung berperan besar dalam menyadarkan kita telah bergulirnya apa yang diprediksi Martin Heidegger (1950) sebagai gelombang revolusi teknologi. Deretan kabar mengejutkan dan kontroversial tentang salah seorang sosok paling penting di dunia digital itu, sejak kabar tentang sakitnya, yang disusul keputusan kontroversialnya untuk mengundurkan diri sebagai CEO Apple Inc, hingga tak lama setelah itu kabar kematiannya, merupakan rentetan kabar mengejutkan yang membuat kita "dipaksa" menyisakan perhatian untuk menyadari bahwa dunia kita berdiri saat ini sedang bergerak menuju era baru yang disebut era digital, dengan Steve Jobs sebagai salah satu tokoh pentingnya. Gelombang revolusi teknologi itu kini terlihat dalam proses digitalisasi yang terjadi hampir di seluruh sendi kehidupan kita. Bahkan, saat ini di Jakarta, untuk memesan ojek sekalipun kita bisa melakukannya via perangkat digital. Dan pergerakannya sangat cepat. Hanya dibutuhkan waktu sekitar tiga dekade. Berbeda jauh, misalnya, dengan gelombang revolusi mesin uap ke pesawat terbang yang membutuhkan waktu dua setengah abad.
Media informasi menjadi ranah pertama yang terambah oleh gelombang revolusi teknologi itu. Media-media besar di negeri ini kian berlomba-lomba membangun--atau bermetamorfosis menjadi--portal berita dan informasi berbasis digital yang populer. Mereka berdiri di garis terdepan sebagai lokomotif dalam mengawal gelombang revolusi teknologi ini. Dunia penerbitan buku pun seperti itu. Mereka saat ini disibukkan oleh upaya mengonsep, mematangkan, dan membangun strategi untuk mengkonversi buku-bukunya dalam format digital: e-book, enhanced book, interactive book, dan lain-lain. Maka, yang terjadi saat ini dan beberapa waktu mendatang, segala kebutuhan atau sesuatu yang kita ingin atau kita ketahui bisa didapat hanya dengan menggerakkan jari-jari kita di atas tablet atau telepon seluler. Media informasi memang selalu menjadi gerbang yang mengantarkan sebuah zaman dari suatu era menuju era lainnya. Sebab, media informasi merupakan salah satu alat provokasi paling ampuh guna membentuk atau mengubah pola pikir seseorang atau bahkan publik secara kolektif.
Digitalisasi dalam ranah media informasi dan industrinya secara tak langsung menuntut ranah itu tak hanya mengkonversi medianya, yakni dari cetak menuju digital. Namun digitalisasi juga menuntut konten yang dihadirkannya pun bermetamorfosis sesuai dengan karakteristik dan paradigma era digital. Pertama, informasi dan ulasan yang dihadirkan dituntut bersifat singkat, ringkas, dan instan. Sebab, manusia era digital berkecenderungan mengetahui sedikit tentang banyak hal. Kecenderungan itu paradoks dengan prinsip akademis-ilmiah yang cenderung mendidik seseorang agar lebih mengetahui sedikit hal secara mendalam, komprehensif, dan utuh supaya tak terjadi kesalahpahaman. Kedua, tema dan gaya bahasa dalam ranah digital dituntut bersifat populer. Berbeda dengan tema dan gaya bahasa akademis yang cenderung serius dan ilmiah, yang tak lagi laku dalam ranah digital, karena dianggap menjenuhkan dan membosankan.
Terkait dengan hal itu, pada 1964 Marshall McLuhan melalui karya populernya yang berjudul Understanding Media; The Extensions of Man memperingatkan kita akan gelombang revolusi teknologi (baik teknologi berbasis listrik saat itu maupun dalam bentuk teknologi berbasis digital saat ini) yang, menurut dia, tidak hanya akan memajukan, tapi juga berefek samping berupa ancaman dan risiko bagi pola pikir dan gaya hidup masyarakat kita.
Setiap kali sebuah gelombang revolusi teknologi terjadi, maka ia memang akan menggiring manusia pada posisi yang benar-benar dilematis, termasuk gelombang digitalisasi saat ini. Ia menawarkan kepada kita agar tetap update dan terhubung dengan dunia luar dan maya, tapi juga mengancam berkurangnya--bahkan hilangnya--konsentrasi dan watak in command kita. Dalam posisi dilematis itu, kita ditawari dan dirayu untuk tetap eksis dengan dunia luar-maya yang nyaris tak terbatas itu, tapi di sisi lain kita dibuat lemah dan mudah digiring, ditekan, dan diperbudak dari awalnya menjadi subyek yang mengendalikan laju dan gerak peradaban dunia menjadi obyek yang tak berdaya di tengah arus digitalisasi. Gelombang itu juga seolah memecah kita menjadi dua kubu yang paradoks: mereka yang menilainya sebagai bentuk kemajuan dan memuji gelombang itu sebagai gelombang demokratisasi budaya, atau di sisi berseberangan berdiri mereka yang menilainya sebagai bentuk ancaman bagi runtuhnya nilai-nilai budaya.
Menurut penulis, tantangan yang dimunculkan era digital saat ini dan ke depan akan relatif sama dengan tantangan yang datang bersama arus modernisme pada abad ke-16: tentang mengkompromikan nilai-nilai (tradisional) dengan tuntutan zaman (yang terus membaru). Dan seiring dengan perkembangannya, tantangannya pun semakin kompleks dan menyeluruh. Tidak lagi hanya menyangkut media dan industrinya, tapi menyusup mempengaruhi pola pikir, budaya, dan bahkan aspek terdalam serta paling privat dari peradaban manusia, yakni agama.
Terkait dengan hal itu, maka mempertimbangkan gelombang digitalisasi dalam konteks antara kemajuan dan ancaman menjadi tak relevan lagi. Hanya individu yang menafikan keniscayaan pergerakan zaman yang akan memandangnya secara dilematis seperti itu. Persis sebagaimana kalangan budayawan atau agamawan tradisionalis yang mengalami dilema saat arus modernisme menyusup hingga ke sendi-sendi kebudayaan dan agama.
Sampai di sini, menurut penulis, mencermati poin-poin kritik para filsuf (baik Barat maupun Islam) yang banyak muncul pada abad ke-19 ternilai sangat relevan untuk dijadikan rambu dalam merespons gelombang digitalisasi saat ini dan ke depan. Sebagaimana modernisasi dulu, digitalisasi saat ini patut diposisikan sebagai tantangan yang niscaya sebagai bagian dari fenomena pergerakan zaman. Dengan demikian, sikap terbuka dan mengafirmasi tapi selektif dan kritis merupakan pilihan tepat untuk merespons gelombang digitalisasi. Hipotesis Murtadha Muthahhari (filsuf Islam asal Iran) atau Herbert Marcuse (filsuf Barat asal Jerman) dalam One Dimension Man, yang menegaskan soal kewaspadaan manusia modern agar tak tereduksi eksistensinya menjadi satu dimensi saja serta kepatutan mereka untuk tetap memposisikan dirinya sebagai manusia multidimensi, sejatinya patut menjadi pesan penting bagi manusia saat ini dalam merespons gelombang digitalisasi. Maka nantinya digitalisasi dapat kita terima secara menguntungkan dan membangun, yakni sebagai perangkat yang melayani dan mempermudah kita tanpa harus kehilangan watakin command serta keutuhan kita sebagai manusia multidimensional. Itulah tantangan kita di tengah arus digitalisasi saat ini dan di era digital di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar