Minggu, 09 Oktober 2011

Refleksi Hari Aksara: Menggelorakan Budaya Baca

Jum'at, 09 September 2011

TEMPO Interaktif 

Data Kementerian Pendidikan Nasional melalui survei Pusat Statistik Pendidikan 2010 menunjukkan jumlah penduduk buta aksara di Indonesia tercatat mencapai 8,7 juta orang atau 5,1 persen dari jumlah penduduk. Dalam momentum Hari Aksara, yang rutin diperingati pada 8 September, bangsa Indonesia perlu merefleksikan diri untuk mengukur kadar minat baca dan melakukan gerakan membaca buku sebagai kebutuhan primer yang harus dipenuhi, sehingga problem buta aksara bisa diatasi.

Buku menjadi simbol kemajuan tradisi ilmiah. Sayyidina Ali ibn Abi Thalib secara implisit menganjurkan agar buku diletakkan sebagai kunci tradisi keilmuan dengan mengatakan "ikatlah ilmu dengan menulis". Pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada pemerintahan Harun al-Rasyid, buku begitu diistimewakan. Perpustakaan penuh dengan ide besar yang tertuang dalam buku berjilid.

Urgensi baca
Hasil penelitian yang dipublikasikan Universitas Oxford memaparkan remaja berusia 16 tahun yang membaca minimal satu buku selama sebulan akan menempati level manajerial atau profesional pada usia 33 tahun. Hasil riset itu menunjukkan korelasi positif kesuksesan pendidikan anak dengan kemampuan membaca. Semakin rendah minat baca, maka akan berakibat pada rendahnya daya saing anak dalam percaturan internasional, yang berarti pula ancaman dropout sekolah, kemiskinan, dan pengangguran semakin menganga. Sejarah belum pernah mencatat ada orang pintar dan hebat yang sedikit membaca. Nabi Muhammad saja (yang bukan berasal dari golongan pembaca) di awal misi kerasulannya diperintah untuk membaca (iqra'). Apalagi sekarang ini, di tengah kondisi bangsa yang terpuruk, generasi membaca mutlak dibutuhkan.
Selama ini sebagian masyarakat kita, tak terkecuali anak-anak, masih merasa asing terhadap buku. Hal ini terjadi karena masyarakat, yang awalnya bertradisi lisan atau oral society, secara drastis bergerak ke budaya elektronik, seperti TV dan radio, sebelum memasuki budaya tulis secara ajek. Masyarakat telah langsung melompat dari tradisi mendongeng ke tradisi menonton sebelum terbiasa dengan tradisi membaca. Padahal minat membaca yang tinggi sangat penting.

Menciptakan generasi gemar membaca merupakan jembatan menuju masyarakat ilmiah dan berperadaban. Kritis terhadap segala informasi yang diterima sehingga tidak bereaksi secara emosional, dan peduli terhadap lingkungan sekitar. Menciptakan generasi yang literat membutuhkan proses dan sarana yang kondusif dengan mensinergikan peran keluarga, sekolah, serta masyarakat. Keluarga sangat dominan dalam perkembangan literasi anak. Hasil riset menunjukkan umumnya anak mulai belajar membaca dan menulis dari orang tua di rumah. Mereka akan gemar membaca jika melihat orang tua atau anggota keluarga lain di rumah sering membaca buku, koran, atau majalah. Anak sebenarnya sudah bisa dirangsang untuk gemar membaca bahkan ketika masih dalam kandungan ibunya. Wanita hamil yang sering membacakan buku bagi janin yang sedang dikandungnya cenderung akan melahirkan anak yang kemudian gemar membaca.

Budaya baca adalah strategi untuk mengganti kegiatan mendongeng sebelum tidur yang sudah menjadi tradisi orang tua. Seorang ibu bisa menumbuhkan kegemaran membaca anaknya dengan mengajak anak melakukan kegiatan yang melibatkan aktivitas membaca, seperti membaca resep masakan, sering menulis pesan buat anak dan meminta balasan tertulis, serta meminta anak meminjam buku dari perpustakaan sekolah. Kegiatan ini adalah langkah awal peralihan dari budaya orasi melalui dongeng ke budaya membaca.

Nicole Niamic dalam The Benefits of Reading to Your Children (1993) mengatakan, jika orang tua membacakan buku cerita kepada anak sejak dini, mereka sebenarnya telah mengenalkan anak pada dunia lain yang mengasyikkan. Kebiasaan ini bahkan akan menentukan kesuksesan akademik mereka di kemudian hari. Anak usia dua tahun yang setiap hari sering dibacakan buku cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di taman kanak-kanak atau sekolah dasar dan memiliki kemampuan belajar serta berkomunikasi dua-tiga kali lebih baik ketimbang anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu. Apalagi dibandingkan dengan yang tidak pernah sama sekali.

Para pendidik juga sebaiknya mengadakan gerakan moral untuk menyadarkan para orang tua akan pentingnya buku, sehingga mereka tidak merasa enggan membelikan buku untuk anak. Mereka yang secara ekonomi kurang beruntung juga harus tetap menyadari pentingnya buku sebagai sumber ilmu. Jika buku sudah menjadi prioritas dalam mendukung pendidikan anak, banyak cara bisa dilakukan untuk menyiasati terbatasnya kemampuan ekonomi dengan membeli buku bekas bermutu yang masih layak baca atau sekadar mengajak anak jalan-jalan ke toko buku. Orang tua yang mampu harus dipacu untuk memiliki perpustakaan pribadi, sehingga memotivasi anak untuk membaca. Hal ini sekaligus menjadi alternatif yang baik untuk mengurangi jam menonton TV.


*) Achmad Fauzi, Alumnus Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar