Selasa, 04 Oktober 2011

Dari Membaca ke Penulis


Sumber: Koran Tempo
Selasa, 27 September 2011
Agus M. Irkham,

Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

Ada yang silap. Berbilang komunitas baca mengkampanyekan pentingnya kegiatan membaca (buku) tapi tidak disertai pula dengan pengaksentuasian budaya menulis. Bahkan, di kalangan para penggiatnya sekalipun, keprigelan menulis kerap menjadi nomor sepatu--dalam prioritas penguasaan keterampilan yang harus dimiliki. Tak terkecuali para pengelola taman bacaan masyarakat (TBM). Mereka asyik mengumpulkan dan meminjamkan buku, mengajak khalayak membaca buku, menggelar beragam acara, tapi giliran diminta menuliskan beberan aktivitas literasi itu, mereka tertatih-tatih. Jarak otak dan tangan laksana ratusan kilometer. Meski satu tulisan, lama sekali dirampungkan.

TBM merupakan salah satu program aksi peningkatan dan pengembangan budaya baca. Program ini digagas sebagai bentuk sikap afirmatif pemerintah Indonesia terhadap Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment-LIFE) yang dicanangkan UNESCO. Harapan terjauh dari keberadaan TBM adalah menumbuhkan minat, kecintaan, serta kegemaran membaca dan belajar masyarakat, sehingga dapat memperkaya pengetahuan, wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, pemahaman norma dan aturan, sekaligus dalam hal pemberdayaan masyarakat (Dikmas, 2009).

Sampai akhir 2010, secara nasional tak kurang ada 4.700-an TBM. Dalam bingkai berpikir yang simplistis, berarti tak kurang ada 4.700 orang--asumsi paling pahit, satu TBM dikelola oleh satu orang--yang berpotensi menjadi pemasar budaya membaca melalui aktivitas menulis. Dapat dibayangkan "gempa" literasi yang bakal terjadi jika 4.700 pengelola TBM tersebut secara rutin menulis--taruhlah minimal sepekan sekali--dan tulisan itu diterbitkan di media, baik dalam cakupan lokal, regional, maupun nasional. Tentu lema keberaksaraan (baca-tulis) akan menjadi entry berita yang patut diperhitungkan.

Apalagi menulis adalah "membaca dua kali", demikian bunyi nubuat para munsyi. Dengan begitu, para pengelola TBM sejatinya telah memiliki modal penting untuk memasuki dunia menulis, yaitu api peduli atau kecintaan terhadap aktivitas membaca serta keterlibatan mereka dalam gerakan budaya membaca.
Guna memberikan bekal transformasi bagi pengelola TBM, dari pembaca ke penulis, Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat (PP FTBM) pada 21-23 September lalu menyelenggarakan pelatihan menulis bagi pengelola TBM. Ada 25 peserta dari 20 provinsi. Pelatihan berlangsung di Kota Serang, Banten. Berderet nama yang memiliki kompetensi tinggi di bidangnya kami hadirkan untuk memberikan materi kepada peserta. Mulai Ali Muakhir, penulis buku bacaan anak yang sangat produktif. Tak kurang dari 300 judul buku telah ia tulis, hingga pada 2010 diganjar oleh Muri sebagai penulis bacaan anak paling produktif se-Indonesia. Ada lagi Faiz Ahsoul, pegiat TBM Gelaran Buku Jogja, yang telah sukses menggelar program Belajar Bersama Menulis Sejarah Kampung (Babersku). Itu adalah sebuah program yang bertujuan menarik minat membaca dan menulis warga (kampung) dalam satu helaan napas (berbarengan).

Hadir pula wartawan Koran Tempo, yang secara khusus memberikan materi tentang kiat menulis kolom, terutama yang ditujukan untuk diterbitkan di media cetak. Menariknya, di sesi ini, dibahas pula esai-esai yang telah peserta tulis sebelumnya. Kami menamai sesi itu sebagai sesi pembengkelan karya. Proyek akhir dari pelatihan ini adalah para peserta kami minta merevisi kolom mereka. Dan dua minggu kemudian dikirim kembali, untuk kami seleksi dan terbitkan menjadi satu buku utuh berisi kumpulan kolom tentang budaya membaca dan menulis serta kiprah mereka di TBM masing-masing.

Pelatihan ini bertujuan memberi asupan pengetahuan, dorongan motivasi, sekaligus segi-segi teknis menulis bagi para pengelola TBM. Tentu saja kami tidak sedang meminta mereka untuk menjadi penulis atau pengarang. Namun keterampilan menulis akan semakin mengefektifkan upaya untuk menyebarkan "virus" budaya baca pada khalayak luas, termasuk menciptakan bacaan sendiri. Jadi para pengelola TBM tidak akan selamanya menjadi konsumen teks (bacaan, buku), tapi mampu pula menciptakan alternatif bacaan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pengguna (pengunjung TBM). Bisa berupa buletin, newsletter, majalah, bahkan buku sekalipun. Jadi ada transformasi dari konsumen bacaan ke produsen bacaan.
Menulis juga akan menciptakan kesadaran baru pada tingkat yang lebih tinggi. Dengan begitu, karier kemanusiaan--dari sisi kejiwaan--akan meningkat. Seperti yang diungkapkan Karlina Supelli (1999)--mengafirmasi pendapat Virginia Wolf--cara terbaik untuk membaca adalah dengan (juga) menulis. Dengan menulis, seorang mencoba bereksperimen dengan bahaya kata-kata dan kesukarannya. Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan.

Keterampilan menulis juga akan memperkuat kapasitas individu--pengelola, yang pada gilirannya akan memperkuat pula kapasitas lembaga. Sebab, saat para penggiat literasi ini berinteraksi dengan stakeholders, tak jarang diharuskan untuk menulis. Entah berupa proposal program, laporan kegiatan, maupun sekadar profil lembaga.

Apalagi, akhir tahun ini, Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal PAUD-NI akan menggulirkan program TBM elektronik. Melalui program ini, diharapkan tiap TBM memiliki akses Internet serta dapat memanfaatkannya untuk melancarkan dan memangkuskan gerakan membaca dan menulis. Sebuah harapan yang mengandaikan adanya keterampilan menulis yang harus dimiliki oleh tiap pengelola TBM.

Membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkit kepekaan terhadap kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar