Minggu, 13 Desember 2015

Membaca dan Menulis: Sebuah Personal Account

Azyumardi Azra
Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Bagi saya, buku merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan saya, sejak kecil—ketika mulai bisa membaca—sampai sekarang ini dan seterusnya. Dan tidak ragu buku merupakan salah satu sumber terpenting dalam pembentukan pandangan dunia (world-view) cara berpikir,  karakter dan tingkah laku sehari-hari.

Buku bagi saya teman setia, yang selalu mendampingi atau ikut bersama saya; di rumah, dan diperjalanan. Dan ketika di perjalanan baik di dalam maupun di luar negeri, mencari dan membeli buku selalu menjadi agenda penting, yang selalu diusahakan untuk memenuhinya. Waktu kembali ke rumah, koper dan tas hampir selalu dipenuhi buku-buku dan bisa dipastikan, koleksi buku saya selalu bertambah.

Saya tidak ingin mengibaratkan—apalagi menyamakan  buku sebagai “istri kedua.” Tentu saja cinta kepada istri berbeda dengan cinta kepada buku, tetapi cinta kedua-duanya sama-sama saya cintai pada level yang berbeda. Cinta kepada sang istri tidak bisa diganti cinta kepada buku; dan sebaliknya cinta kepada buku tidak bisa diganti cinta kepada istri. Namun saya takut kehilangan salah satunya, apalagi kedua-duanya.

Yang jelas saya sangat cinta kepada buku; selalu ingin buku koleksi saya tetap utuh, tidak ada satu pun yang hilang atau rusak dimakan rayap, terkena air dan sebagainya. Saya selalu wanti-wanti kepada kawan-kawan yang meminjam buku saya agar buku yang mereka pinjam tidak hilang. Bagi saya lebih baik kehilangan uang dari pada buku; uang bisa dicari, tetapi buku belum tentu dapat gantinya, apalagi yang diterbitkan bertahun-tahun silam. Buku terbitan Indonesia umumnya hanya sampai cetakan pertama, jarang ada cetakan kedua, dan seterusnya. Tidak banyak buku cetakan dan terbitan Indonesia yang tersimpan di perpustakaan; meski ada kewajiban penerbit untuk mengirim dan menyimpan buku-buku yang mereka terbitkan di Perpustakaan Nasional, tidak banyak penerbit yang melakukan kewajiban ini.

Sebaliknya, jika buku terbitan luar negeri hilang mencari gantinya juga tidak mudah. Kemungkinan besar, kopinya ada ditoko-toko buku “used books” atau “antique books”  atau di perpustakaan. Tetapi, tentu saja selain harga buku itu mahal, juga tidak setiap waktu kita bisa pergi ke luar negeri. Kita atau setidaknya saya harus menunggu undangan untuk mengikuti acara tertentu di luar negeri. Kalaupun ada kesempatan ke luar negeri tidak menjamin bahwa kita dapat mencari ganti buku yang hilang itu, karena tidak ada atau sempitnya waktu untuk pergi ke toko buku dengan koleksi khusus, atau ke perpustakaan mungkin memiliki kopi buku  yang kita cari.

Mengoleksi Buku
Koleksi buku di perpustakaan pribadi saya sekarang ini berkisar antara 12.000 sampai 15.000 judul. Saya sulit mengetahui jumlah pastinya, karena tidak ada catatan judul-judul buku itu, apa lagi katalog. Sekitar 1995 lalu sebuah badan riset Islam yang bercita-cita membangun library on line koleksi-koleksi pribadi pernah mencoba mencatat judul-judul buku itu hanya tahan beberapa hari. Saya tidak tahu apakah karena selain capek, ia atau lembaganya punya alasan tambahan untuk meninggalkan proyek library on line tersebut.

Jadi sampai sekarang selain tidak tahu pasti jumlah buku yang saya miliki, juga tidak ada katalognya. Buku-buku ini sebagian besar disimpan  di  rumah pribadi saya, yang cukup besar dan bertingkat dua, dan lorong pintu samping. Sekitar  seperempat koleksi saya terletak di bagian ini; dan  setengahnya  adalah buku-buku yang   paling sering   digunakan untuk  menulis makalah, artikel, kolom, dan sebagainya.

Sekitar dua perempat koleksi buku saya terdapat di lantai dua, memenuhi ruang tengah dan kamar besar lainnya. Buku-buku di ruang tengah umumnya buku-buku yang juga paling sering digunakan untuk rujukan sehari-hari, sedangkan di kamar besar sebagian besar adalah buku-buku klasik dalam berbagai bidang; dan juga kumpulan makalah  dan sumber lain yang tidak diterbitkan.

Seperempat koleksi saya lainnya terletak di kantor rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagian besar koleksi ini adalah buku-buku  kontemporer, yang saya gunakan untuk menulis di kantor, ketika tidak ada rapat dan tidak ada tamu. Saya memang biasa menulis di sela-sela berbagai kegiatan; interupsi-interupsi karena kegiatan-kegiatan tersebut; tidak membuat saya kehilangan jejak dalam memulai, melanjutkan, dan menyelesaikan sebuah tulisan.

Tidak adanya daftar buku, apalagi katalog, dan terpencar-pencarnya seluruh koleksi itu di tiga tempat, membuat saya sering sangat sulit menemukan buku-buku tertentu yang saya butuhkan pada waktu tertentu. Ingatan saja, tidak cukup membantu saya dalam topik atau subyek tertentu yang ada dalam koleksi saya; dan lebih jauh lagi; di mana persisnya lokasi buku-buku itu. Kalau ada di rumah, di lantai berapa, dan di rak bagian mana. Sering sekali saya akhirnya gagal menemukan buku-buku yang saya perlukan itu, padahal saya yakin punya buku tersebut. Tetapi di mana buku itu menyelip?

Karena itulah dalam beberapa tahun terakhir ini saya berpikir untuk membangun gedung perpustakaan khusus yang bisa menampung seluruh koleksi ini.  Saya membayangkan, gedung perpustakaan itu terletak di lingkungan kampus UIN, tetapi bukan milik UIN karena itu bisa berarti saya menyalahgunakan wewenang dengan “memanfaatkan” fasilitas UIN. Gedung perpustakaan yang saya bayangkan itu, idealnya terletak dalam kompleks lembaga penelitian yang independen dan tidak punya hubungan struktural dan formal dengan UIN; tetapi perpustakaan dan lembaga penelitian itu bisa dimanfaatkan kalangan UIN dan pihak-pihak lain yang ingin melakukan kajian-kajian, dan penelitian.

Dilihat dari disiplin ilmu, sekitar sepertiga koleksi ini berkenaan dengan sejarah mulai dari periwayatan sejarah, teori-teori dan filsafat sejarah sampai kepada historiografi baik berkaitan dengan sejarah Islam maupun sejarah universal, sepertiga berikutnya berkisar tentang  politik, dan sepertiga sisanya termasuk ke dalam bidang antropologi, sosiologi, hukum, pendidikan, dan lain-lain.

Dilihat dari segi bahasa, hampir dua pertiga koleksi saya adalah buku-buku berbahasa Inggris, kemudian sisanya berbahasa Indonesia dan bahasa Arab. Buku-buku berbahasa Arab umumnya menyangkut sejarah dan pendidikan; sedikit sekali tentang aspek doktrinal Islam, seperti tafsir, syariat, fikih, ushuluddin, dan lain-lain. Hal ini mudah dipahami karena  di bidang saya adalah sejarah dengan penekanan khusus pada sejarah sosial-intelektual masyarakat Muslim, bukan pada bidang teologi dan doktrinal Islam.

Terakhir dilihat dari sudut kawasan (area studies), sebagian besar koleksi berkenaan dengan wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara. Hal ini juga tidak mengherankan karena bidang pokok saya adaalh kajian perbandingan (comparative study) antara kawasan Muslim Timur Tengah dengan Asia Tenggara. Dan ini juga berkaitan dengan training  akademis yang saya tempuh. Pertama Master of Arts (MA) dalam kajian Islam Timur Tengah dari Department of Middle Eastern Languages and Cultural, Columbia University; dan kedua, MA, Master of Philoshophy (Mphil) dan Psilosophical Doctorale (PhD) dalam bidang sejarah (sosial intelektual) Islam Asia Tenggara dari Department of History, Columbia University.

Pengembangan koleksi seperti itu bermula sejak saya kuliah tingkat sarjana Muda (BA) dan doktoral (Drs) pada Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarid Hidayatullah Jakarta (1976-1982). Kegiatan saya di samping kuliah sebagai aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Senat Mahasiswa dan wartawan majalah Panji Masyarakat (1979-1985), mendorong saya untuk mulai membeli dan mengoleksi buku-buku. “Intelectual Community “ Ciputat  yang sedang bertumbuh pesat ikut mendorong saya membaca lebih banyak buku. Begitu punya kegiatan jurnalistik yang saya pegangi sebagai transisi intelektualisme, dan keterlibatan saya dalam diskusi mingguan yang dipimpin  Mas Dawam Rahardjo di LP3ES, juga semakin membuat saya terdorong memiliki buku-buku. Berkat gaji saya di Panji Masyarakat dan honor dari artikel-artikel saya yang dimuat Harian Merdeka, Kompas, saya dapat meningkmati kemewahan yang sulit diperoleh anak muda lainnya; yaitu punya uang untuk beli buku-buku yang tentu saja jauh dari jangkauan kebanyakan bukan hanya anak muda/mahasiswa, bahkan bagi sebagian rakyat Indonesia.

Penambahan koleksi buku saya secara signifikan berlangsung antara 1986-1993, ketika saya belajar di Columbia University. Semua orang yang pernah belajar di luar negeri pasti mengalami dan mafhum, bahkan tidak mungkin membeli banyak buku dari beasiswa yang jumlahnya pas-pasan. Tetapi, saya beruntung kuliah di Columbia University yang terletak di Upper Westside belantara beton Manhattan, yang dalam pengalaman saya merupakan ”surga dunia” bagi para pencinta buku (book lovers).

Pertama, New York City punya banyak toko buku yang menjual “used books” atau “reviewer copies” seperti Strand Bookstores, Barnes & Noble dan toko-toko buku lainnya, yang menjual buku-buku baru dan lama dengan harga sangat murah setengah dolar sampai sekitar sepuluh dolar.

Kedua, banyaknya pedangang kaki lima sepanjang Broadway yang menjual buku-buku dengan harga murah. Yang diperlukan hanya kerajinan menyusuri Broadway—bukan untuk menonton Broadway Show yang merupakan salah satu “trademark” New York City—tetapi untuk melihat dan membeli buku-buku yang digelar para pedagang di trotoar atau emperan toko.

Ketiga, adanya kedai atau tempatnya ruang khusus Butler Library Columbia University dan/atau Barnard College yang menjual ”extra copies” (kopi lebih dan buku-buku lain yang dipandang pustakawan tidak perlu lagi disimpan di perpustakaan karena hanya membuat sempit). Buku-buku di sini juga  dijual dengan harga sangat murah. Saya pernah membeli buku kumpulan tulisan  C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften ( 6 Jilid), hanya dengan harga enam dolar.

Demikian, sejak datang ke New York City pada 1996, saya mulai mengoleksi buku; berburu buku ke tempat-tempat yang saya sebutkan di atas. Hasilnya, kamar sewaan yang kecil di lingkungan kampus penuh sesak dengan buku; dan secara reguler saya mengirimkan buku-buku tersebut dengan perusahaan kargo, yang langsung mengantarkan ke rumah saya di Pisangan, Cirendeu. Akhirnya setelah selesai PhD pada 1992, saya mengirim dua truk buku ke rumah.

Koleksi saya juga mencakup, buku-buku dan naskah berbahasa Arab yang saya perolah ketika saya melakukan penelitian untuk disertasi di Kairo dan Mekkah-Madinah selama enam bulan pada 1990-1991. Melanjutkan penelitian ke Belanda koleksi saya bertambah dengan fotokopi dan naskah klasik.  Di  Belanda dan juga di Inggris—ketika saya melakukan post-doctoral fellowship di Oxpord University pada 1994-1995—tentu saja juga terdapat toko buku used books dan antique books, tetapi harganya sangat mahal, karena buku-buku itu mereka kategorikan sebagai “rare books “, buku-buku langka yang sudah tidak dicetak atau diterbitkan lagi.

Koleksi buku saya terus bertambah setelah kembali secara permanen ke tanah air dan sepenuhnya mengabdi di kampus, mengelola penerbitan jurnal Studia Islamika (tiga bahasa, Inggris, Arab, dan Indonesia), sejak akhir 1993 dan Lembaga Penelitian, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM). Berkat undangan-undangan untuk menyajikan makalah di berbagai konprensi seminar, workshops, di luar negeri yang semakin sering saya terima, maka saya dapat terus meng-update koleksi buku saya. Dengan demikian, saya senantiasa dapat memiliki buku-buku baru.

Dengan penambahan koleksi secara terus-menerus bisa dibayangkan hampir seluruh ruangan di rumah saya—kecuali ruang tengah di lantai satu dan kamar-kamar tidur—dipenuhi lemari-lemari buku. Saya beruntung punya istri yang tidak pernah komplain bahwa rumah kami dipenuhi buku-buku, ia juga tidak kompalin karena saya terus-menerus menambah koleksi buku saya, khususnya ketika pulang dari luar negeri. Saya kira tanpa pengertian sang istri, maka sulit bagi saya untuk mengembangkan koleksi buku saya.

Membaca Buku

Saya mulai bisa membaca huruf ketika saya belum masuk SD di kampung saya di Lubuk Alung, Sumatra Barat. Saya belajar membaca nama-nama  bus antar-kota yang melintas dan berhenti di depan rumah saya di pinggir jalan raya propinsi yang menghubungkan kota Padang dengan Padang Panjang dan Bukittinggi. Setelah bisa mengeja huruf dan membaca kalimat-kalimat lengkap, saya mulai membaca potongan-potongan surat kabar bekas yang digunakan sebagai pembungkus. Hasilnya ketika saya masih SD pada 1963 saya sudah sangat lancar membaca buku dan koran.

Keluarga saya adalah keluarga sederhana, yang sama sekali tidak kaya. Abak (ayah) saya mula-mula bekerja sebagai tukang kayu dan tukang batu; kemudian sejak 1970-an menjadi pedagang kopra dan cengkeh secara kecil-kecilan. Amak (ibu) saya adalah guru agama, yang diangkat menjadi guru agama melalui UGA (Ujian Guru Agama) yang diperkenalkan Menteri Agama Muhammad Dahlan, pada akhir 1960-an. Amak adalah tamatan al-Manar, sebuah sekolah modernis—di negeri asalnya Kampung Dalam Pariaman. Amak adalah anak seorang ulama terkemuka di Kampung Dalam.

Meski keluarga kami hanyalah keluarga sederhana, tetapi Abak dan Amak sangat sadar tentang pentingnya ilmu. Walau keadaan ekonomi keluarga kami kadang-kadang sangat sulit, pendidikan menjadi prioritas pokok. Saya bersama lima kakak dan adik kandung semuanya pada akhirnya menjadi sarjana. Abak dan Amak saya juga menyekolahkan dua kakak saya seayah. Kemudian, masih ada dua kakak laki-laki sepupu yang yatim piatu sejak kecil yang berkat Abak dan Amak berhasil masing-masing berhasil memperoleh gelar sarjana muda ekonomi dan insinyur pertanian.

Sebagai guru,  Amak memiliki sejumlah buku yang jumlahnya tidak banyak yang terdiri dari buku-buku agama yang digunakannya untuk mengajar dan beberapa buku lain, khususnya karya sastra Pujangga Baru di antaranya yang saya baca termasuk, Salah Asuhan, (karya A. Moeis), Tenggelamnya Kapal Van der Wijck  (Hamka dan lain-lain). Pada waktu SD ini saya juga membaca banyak buku cerita klasik seperti Sekali Tepuk Tujuh Nyawa, Musang Berjanggut, atau karya-karya penulis-penulis Utay Tatang Sontani Taguan Harjo dan lain-lain.

Setelah tamat SD pada 1969 dan melanjutkan sekolah ke PGAN 6 Tahun Padang, hobi membaca saya semakin meningkat. Membaca koran Haluan, Singgalang  dan Angkatan Bersenjata sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan sehari-hari. Dengan membaca koran-koran ini pengetahuan umum saya terus bertambah; minat pada tema-tema sosial kemasyarakatan dan politik semakin menguat; yang pada gilirannya mempengaruhi secara signifikan kecenderungan intelektual saya dalam perjalanan hidup selanjutnya.

Minat baca saya pada karya-karya sastra juga berkembang luas selama 6 tahun belajar di Padang. Saya membaca banyak novel, kumpulan cerpen, puisi, dan tidak kurang pentingnya, cergam (cerita bergambar, dan cerita-cerita silat khususnya karya Kho Ping Ho. Bagi saya karya-karya Kho Ping Ho memiliki daya tarik tersendiri. Umumnya karya penulis ini adalah cerita tentang dunia kangow,  dunia persilatan, yang penuh pergumulan dan pertarungan antara kekuatan-kekuatan baik melawan kekuatan-kekuatan jahat. Di tengah  pertarungan kedua kekuatan yang bertarung ini terselip kisah-kisah percintaan yang romantis.

Bagi saya Kho Ping Ho lebih dari penulis-penulis lain dalam geure sastranya. Karya-karyanya yang satu judul bisa terdiri dari 20-30-an jilid mengandung banyak nilai etis, filosofis dan kemanusiaan universal. Misalnya tidak mudah menegakkan kebenaran karena banyak halangan dan tantangan yang dihadapi para pejuang dan pembela kebenaran. Kekuatan fisik dan keahlian dalam silat saja tidak cukup untuk menegakkan kebenaran menghancurkan kejahatan; perlu keyakinan, perlu semangat yang tidak kunjung padam, dan perlu kesabaran. Dan banyak lagi pesan-pesan moral dan etis yang disajikan Kho Ping Ho secara cukup tipikal, tanpa harus terkesan menggurui  apalagi mendikte para pembacanya.

Selama di kota Padang saya membaca karya-karya Kho Ping Hood an novel-novel di kedai buku sewaan yang terletak di dalam lingkungan Bioskop Raya. Para pembaca bisa menyewa dan membaca di kedai itu atau membawa buku-buku sewaan itu ke rumah dengan meninggalkan sejumlah uang sebagai jaminan. Saya melakukan keduanya yaitu membaca selama berjam-jam di kedai buku sewaan itu atau sekali-sekali membawanya pulang.

Hobi saya membaca karya-karya sastra—novel, puisi, dan cerita-cerita Kho Ping Hoo—mendorong berkembangnya bakat sastra saya. Selanjutnya ketika melanjutkan pendidikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (1976-1982 ), saya menulis sejumlah sajak baik dalam bahasa Indonesia maupun bahas Inggris. Sajak-sajak berbahasa Indonesia saya belum pernah diterbitkan, masih tersimpan dalam buku-buku tulis dan catatan; sedangkan beberapa sajak berbahasa Inggris dimuat dalam koran berbahasa Inggris, The Indonesian Times sepanjang akhir 1980-an. Selain itu, saya juga menulis cerpen—khususnya cerpen anak-anak—yang beberapa di antaranya dimuat dalam lembaran anak dan remaja majalah Panji Masyarakat.

Bagi saya, karya-karya sastra memiliki makna dan fungsi tersendiri. Saya merasa, membaca karya-karya sastra membuat menusia lebih human, lebih manusiawi, lebih arif memahami masalah-masalah dan sekaligus misteri-misteri anak manusia. Pandangan saya ini semakin menguat ketika meneliti dan membaca sastra-sastra sufistik untuk kepentingan studi lanjutan saya di Columbia University. Sastra sufistik mencerminkan pengembaraan intelektual dan religius dalam pencaharian panjang yang tak pernah berakhir di kalangan anak manusia untuk mencapai “kesempurnaan ruhani”.

Akan tetapi, harus saya “sesali” minat dan bakat sastra tidak berkembang lebih jauh. Sejak tahun kedua saya di Ciputat (1977), di samping kuliah, saya mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, pertama kali di Himpunan Islam (HMI), sampai menjadi Ketua Umum HMI Cabang Ciputat (1982-1983) dan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah (1979-1981). Keterlibatan saya dalam kancah intelektualisme dan gerakan mahasiswa membuat saya harus lebih banyak membaca literatur, khususnya tentang isu-isu modernisasi, modernitas, sekularisme, sekularisasi dalam hubungannya dengan pembangunan yang tengah menemukan momentumnya di bawah kendali rezim Orde Baru. Secara khusus, saya memberi banyak perhatian pada literatur tentang implikasi dan konsekuensi semua perkembangan ini terhadap kehidupan dan masa depan agama.

Seperti saya singgung sedikit di depan, pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di lingkungan Kampus IAIN Ciputat tengah berlangsung dinamika intelektual yang berkecambah menjadi intellectual community. Sedikit ada tiga faktor yang mendorong perkembangan ini. Pertama, faktor Profesor Harun Nasution sebagai Rektor IAIN Jakarta yang terus-menerus mengembangkan teologi “rasional” secara institusional melalui berbagai matakuliah di IAIN. Kedua, faktor Nurcholish Madjid yang menjadi figur ideal anak-anak HMI Ciputat dengan gagasan-gagasan pembaharuannya. Dan ketiga, faktor M. Dawam Rahardjo, dengan gagasan kritisnya terhadap pembangunan ekonomi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.

Bersama-sama kawan senior dan seangkatan seperti Fachry Ali, Komaruddin Hidayat, Kurniawan Zulkanaen, Hari Zamharir, Hadimulyo, Iqbal Abdurrauf Saimima (alm), Pipip Ahmad Rifai, dan lain-lain, saya terlibat dalam lingkaran ketiga tokoh yang saya sebutkan di atas. Terutama dari lingkaran pertama dan ketiga, kami terlibat dalam diskusi dan pembahasan intensif tentang berbagai subyek, mulai dari teologi, pembaharuan pemikiran dan gerakan Islam, sampai kepada teori-teori tentang negara developmentalism, hubungan dan dinamika centerperiphery, dan peace research. Dari diskusi-diskusi dan tugas-tugas membaca buku—terutama ditugaskan Mas Dawam—lahir makalah-makalah, artikel-artkel yang dipublikasikan dalam media nasional. Dari sini pula muncul buku-buku yang ditulis secara bersama-sama dalam bentuk antalogi seperti seperti Insan Kamil: Konsepsi Islam tentang Manusia (Grafitis Pers, 1982) dan Pesantren: Pembangunan dari Bawah (Perhipunan Perkembangan Pesantren dan Masyarakat, 1983), yang keduanya dieditori Mas Dawam.

Saya sendiri membentuk kelompok kecil calon penulis—baik mahasiswa maupun mahasiswi—yang secara intensif mendapat tugas membaca buku-buku tertentu. Masing-masing mereka wajib menulis artikel yang diproyeksikan untuk dimuat di koran-koran nasional.

Tetapi juga ada yang menulis cerpen. Semua artikel ini kemudian disetorkan kepada saya, untuk saya periksa baik substansi maupun bahasanya. Setelah saya beri catatan perbaikan, artikel-artikel itu dikembalikan kepada penulisnya masing-masing untuk disempurnakan, dan kemudian dikembalikan lagi kepada saya untuk penilaian dan periksaan ulang. Setelah saya pandang cukup memadai, barulah kemudian dikirimkan ke koran-koran atau majalah. Setahu saya, sebagian besar karya mereka tersebut dimuat di berbagai media cetak.

Saya kemudian tidak bisa melanjutkan usaha di atas. Karena setelah sempat sebentar bekerja di Lembaga Riset dan Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI di bawah pimpinan almarhum Dr. Alfian antara 1983-1985, dan lalu kembali di almamater sebagai dosen tetap sejak akhir 1985, saya selanjutnya pada pertengahan tahun 1986 menuju Carbondale, Illinois untuk pelatihan bahasa Inggris, dan pada awal musim gugur ke kampus Columbia University di Manhattan untuk memulai program MA dalam bidang kajian Timur Tengah sampai kemudian tamat dalam bidang sejarah (1992).

Meski masa awal saya di Columbia University adalah masa sulit, karena beratnya standar akademis salah satu university lvy League ini, saya kemudian sangat beruntung secara akademis. Masa di Columbia University benar-benar merupakan masa belajar secara serius, mengikuti kuliah, membaca dan meneliti literatur yang relevan dengan bidang saya. Saya mengakui tidak benar-benar belajar sebelumnya, ketika di IAIN, karena terlibat dalam banyak kegiatan di luar belajar: aktivitas organisasi ekstra dan intra instituter/universiter, dan menjadi wartawan/redaksi majalah Panji Masyarakat sejak 1979 sampai saya berangkat ke AS.

Training dan independent reading yang saya lakukan selama di kampus Columbia University sangat mempengaruhi kecenderungan akademis-intelektual saya. Ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan saya sejak selesai kuliah sampai sekarang; historis, berpijak pada data, kemudian dilandasi atau diperkaya kerangka (framework) dan teori-teori ilmu sosial dan humaniora tertentu. Hampir tidak ada tulisan saya bersifat spekulatif dan reflektif semata-mata.

Akhirnya, Membaca dan Menulis

Bagi saya, membaca dan menulis tidak bisa dipisahkan; membaca, mengendapkan semua yang dibaca, merefleksikan, akhirnya menuliskannya dengan mempertimbangkan konteks dan relevansinya dengan lingkungan sosial yang terus berubah. Membaca dan menulis memerlukan etos, komitmen, dan konsistensi. Terdapat cukup banyak orang di kalangan kita yang rajin membaca, tetapi tidak punya cukup etos dan keterampilan menulis. Ada juga mempunyai keterampilan menulis, tetapi tidak atau kurang memilik etos, komitmen, dan konsistensi baik dalam membaca maupun menulis.

Sejak kuliah di Columbia University, saya sesungguhnya hanya mempunyai sedikit waktu untuk menulis. Sebagian besar waktu saya habis untuk kuliah dan membaca. Selain itu saya juga bekerja sampingan untuk menambah beasiswa yang pas-pasan. Saya pernah bekerja sebagai paiter pada kontraktor housing renovation di Mathattan dan New Jersey; juga sebagai waiter pada social club di Connecticut; dan pada Serial Acquisition, Butter Library, Columbia University. Tetapi di tengah tugas-tugas pokok dan kesibukan lain yang mendesak, selama kuliah di Columbia University selain menghasilkan dua tesis MA dan satu disertasi, saya juga mengedit dan menerjemahkan artikel-artikel yang terkumpul dalam antalogi Perspektif Islam di Asia Tenggara (Yayasa Obor Indonesia, 1988), dan banyak artikel yang di muat harian Kompas, Media Indonesia, majalah Panji Masyarakat, dan lain-lain.

Saya memiliki relatif banyak waktu untuk membaca, melakukan penelitian dan menulis artikel dan makalah-makalah substantif setelah pulang dari New York, sejak 1993 sampai 1997. Dalam posisi sebagai Editor-in-Chiep jurnal Studia Islamika dan Wakil Direktur PPIM, saya belum terlalu sibuk dengan masalah-masalah administratif. Apalagi dalam periode ini, saya menjadi fellow di Oxford University selama setahun (1994-1995). Masa di Oxford ini saya manfaatkan betul untuk melanjutkan bacaan dan penelitian, dengan juga banyak memanfaatkan perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Pada masa ini pula saya dapat menyelesaikan makalah atau tulisan panjang yang substantif.

Sejak masa di Oxford, saya sudah sering diundang dalam berbagai konferensi internasional. Meski resminya saya menjadi fellow selama setahun, tetapi saya cukup sering pergi ke mana-mana menyampaikan makalah. Karena itu beberapa kawan di Oxford menjuluki saya “Ibn Batutah” pengembara Muslim yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain.

Pengembaraan saya dari satu konferensi atau seminar ke konferensi atau seminar lain di luar negeri khususnya, terus berlanjut setelah saya menjadi Rektor IAIN Jakarta (1998-2002) dan Rektor UIN (2003-sekarang). Tugas-tugas administratif sebagai rektor jelas menyita waktu, apalagi memikul amanat khusus untuk perubahan IAIN menjadi UIN, yang melakukan pembangunan kembali kampus IAIN/UIN Jakarta secara keseluruhan, yang alhamdullilah pada 2004 selesai.

Meski demikian, saya menulis cukup banyak makalah substantif, yang sebagiannya diolah kembali menjadi buku utuh, salah satunya Renaissans Islam  di Asia Tenggara (Rosda, 1999) memperoleh penghargaan Buku Utama 1999 dalam bidang Humaniora dan Ilmu Sosial dari Yayasan Buku Utama. Dalam kesepakatan 30 tahun Mizan, saya bahkan dianugrahi award sebagai penulis paling produktif. Memang selama periode 1998-2003, saya meluncurkan 14 buku, belum termasuk artikel atau bab-bab tertentu yang diterbitkan di luar negeri. Tahun 2004 ini, edisi revisi disertai saya diluncurkan Asian Studies Association of Australia dan penerbit Allen, Edwin.

Secara retrospektif, apa yang saya hasilkan dari pembacaan dan penulisan masih jauh dari pada maksimal. Keterbatasan waktu membuat saya lebih sering membaca dam menulis di mana saja, di atas mobil, di hotel, di sela-sela seminar dan seterusnya. Saya hanya bisa berharap, kelak saya tetap bisa membaca dan menulis dan, dengan demikian, membagi ilmu perspektif dengan anak-anak bangsa.


Oleh Azyumardi Azra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar