Selasa, 27 Maret 2012

Kewirausahaan dan Literasi

Koran Tempo, MINGGU, 18 MARET 2012
Agus M. Irkham
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat

"Jangan bergabung ke barisan yang berpikir negatif dan pesimistis tetapi malas dan tidak mau bekerja apa pun," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Satu Tahun Gerakan Kewirausahaan Nasional, di gedung Smesco UKM, Jakarta, Kamis (8 Maret).

Presiden mengajak kaum muda, baik yang tidak, sudah, akan, atau belum menjadi wirausaha, untuk mengikuti barisan yang optimistis, berjiwa terang, berpikiran positif, dan mau bekerja keras.

Ajakan Presiden SBY mendapatkan dasarnya jika dipertalikan dengan beberan angka jumlah wirausaha yang masih di bawah 2 persen serta pengangguran terdidik yang secara absolut selama 2005-2010 meningkat hingga 600 persen. Hingga muncul seloroh satiris: "Naiklah ke lantai tertinggi gedung bertingkat, buka salah satu jendelanya, dan meludahlah. Maka, dapat dipastikan ludah itu akan jatuh mengenai orang-orang di bawah gedung. Dan minimal satu dari orang yang terkena ludah itu adalah sarjana, pengangguran pula!" 


Penuh paradoks
Meskipun begitu, pada waktu yang berbarengan pula ajakan Presiden SBY tersebut lebih terdengar sebagai upaya menggiring kaum muda ke situasi penuh paradoks. Perlu "kegilaan" tersendiri untuk memilih jalan hidup sebagai wirausaha di tengah maraknya (dugaan) praktek hina (baca: korupsi) yang dilakukan terutama oleh kaum muda. Dimulai dari kasus Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, Dhana Widyatmika, hingga Angelina Sondakh. Sampai-sampai ada celetukan: mumpung masih muda, korupsilah!

Dilihat dari segi manajemen pemerintahan, tentu saja fakta di atas dapat dibaca sebagai bentuk ironi atas ajakan untuk selalu optimistis dan berpikir positif. Mengajak optimistis, tapi terus "memproduksi" bertumpuk apatisme. Betul bahwa masalah klasik dan klise pembangunan adalah pengangguran dan kemiskinan. Dan keduanya dapat diatasi, salah satunya dengan mendorong kaum untuk berwirausaha, menjadi pengusaha, menciptakan lapangan kerja minimal buat dirinya sendiri. Tapi, yang harus diingat pula, peta kekuasaan politik di Indonesia yang cenderung oligopolis juga ditentukan oleh "hubungan gelap" antara pemilik kuasa politik dan pemilik kuasa modal (wirausaha)--beberapa waktu lampau sinyalemen ini pernah diungkapkan oleh Sri Mulyani (mantan Menteri Keuangan).

Hubungan gelap itu pula yang telah banyak membuat segala bentuk potensi kebaikan yang bisa dilahirkan dari praktek kehidupan berdemokrasi, keleluasaan berusaha, dan kesamaan hak di depan hukum jadi invalid semua. Maka, menjadi pekerjaan rumah tersendiri buat calon wirausaha untuk tidak hanya mengukuhkan perolehan profit ekonomi, tapi juga benefit sosial. Bentuk manfaat sosial tersebut adalah berupa kesadaran untuk tetap berlaku bersih dan jujur. Tidak melakukan patgulipat keuangan, alih-alih melantaskan akrobat akuntansi. Dan semua ikhtiar itu didorong oleh dasar cinta tanah air, membangun negerinya agar sejahtera dan bermartabat.

Kesadaran mencintai tanah air dengan C besar ini, oleh Tan Malaka dalam trilogi Dari Penjara ke Penjara, dikatakan: "Barang siapa sungguh menghendaki kemerdekaan buat umum, segenap waktu ia harus siap dan ikhlas buat menderita. Kehilangan kemerdekaan diri sendiri." Kemerdekaan bisa diartikan terbukanya kesempatan bagi semua orang untuk hidup tenang, terjamin ekonominya, dan dapat melangsungkan eksistensi dirinya di pergaulan sosial keseharian. Sedangkan frasa kehilangan kemerdekaan dapat dimaknai sebagai bentuk keikhlasan untuk tidak mengkonsumsi produk melebihi kebutuhannya, serta tidak bergaya hidup mewah. Termasuk kerelaan kehilangan kemerdekaan diri untuk melakukan korupsi dan tindakan melanggar hukum.

Keaksaraan wirausaha
Salah satu ikhtiar menggarap diri agar kelak tidak menjadi wirausaha "hitam" adalah dengan menjadikan figur-figur kunci di bidang bisnis yang sudah dikenal sebagai sosok wirausaha "putih" sebagai mentor atau master mind. Baik yang masih hidup maupun yang sudah berpulang. Baik dengan belajar langsung maupun melalui perantara buku.

Tetapi, tidak berlebihankah menahbiskan buku dapat memberi pengaruh besar pada pembacanya (calon wirausaha)? "Pena (buku, teks) mungkin dapat menyombongkan diri lebih tajam daripada pedang," kata Andrew Taylor di lembar kata pengantar bukunya, Buku-buku yang Mengubah Dunia (2011). Namun, untuk jangka pendek, umumnya pedang yang menang," Taylor melanjutkan. Hanya, yang patut diingat dalam pergerakan arus sejarah yang panjang, buku dan ide-ide yang dituangkan di dalamnya telah mengubah tiap diri dan masyarakat.

Angin yang membawa pertalian antara buku dan jiwa kewirausahaan ini juga tengah berembus kencang di komunitas literasi dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Desentralisasi di bidang penadbiran pemerintah ternyata juga berimbas pula pada proses berlangsungnya desentralisasi model pengelolaan komunitas literasi dan TBM: desentralisasi literasi. Bentuk desentralisasi itu dimulai dari penamaan komunitas dan TBM yang kental dengan idiom-idiom lokal, program yang dijalankan yang disesuaikan dengan irisan terbesar kebutuhan masyarakat sekitar, hingga isi buku yang dilayankan. Semua dirancang dan dijalankan secara otonom, tidak berkiblat pada pusat (Jakarta).

Kini tidak sedikit TBM dan komunitas literasi yang mengoleksi bahan bacaan, terutama buku tentang kewirausahaan: kisah sukses pengusaha, tip berwirausaha, hingga motivasi bisnis. Tidak hanya berhenti di situ, mereka juga memiliki unit usaha yang diposisikan sebagai profit centre, serta menjadi laboratorium inkubasi keaksaraan fungsional-wirausaha berbasis jaringan komunitas.

Tobucil di Kota Bandung dengan klub merajutnya, Sudut Baca Soreang, di Kabupaten Bandung, dengan produksi kerajinan tangan berbahan dasar sampah dapur rumah tangga; Cakruk Pintar di Yogyakarta dengan kelas menulis, agen tiket pesawat, pijat refleksi, dan kolam pemancingan ikannya; serta Rumah Dunia di Serang, Banten, dengan penerbitannya, dapat saya ajukan sebagai contoh wirausaha berbasis jaringan komunitas.

Terakhir, tema kewirausahaan dalam konteks desentralisasi literasi, saya kira segendang-sepenarian dengan nubuat yang pernah dilontarkan Jaya Suprana dalam esai berjudul Buku: Sebuah Kontemplasi (2007): "Yang utama sebenarnya bukan membaca, melainkan mengerti makna sebuah buku, kemudian didayagunakan untuk satu langkah karsa dan nyata produktif dan konstruktif." *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar