Rabu, 14 September 2011

Kendala Pengembangan Budaya Baca

KORAN TEMPO Sabtu, 23 Juli 2011
Oleh: Kelik M. Nugroho,
WARTAWAN TEMPO

Soal pengembangan budaya baca masih merupakan masalah serius bagi bangsa Indonesia. Sebuah ilustrasi yang mungkin bisa dijadikan indikasi untuk mengetahui tingkat kebiasaan membaca buku (reading habit) masyarakat kita bisa dilirik dari acara Rembuk Komunitas Budaya Baca, yang diadakan Kementerian Pendidikan Nasional di Kota Yogyakarta pada 19-22 Juli 2011. Ketika Bambang Supriyo Utomo, Deputi II Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional, salah satu narasumber, menanyakan jumlah buku yang dibaca per bulan, hanya seorang peserta yang menyatakan jumlah buku sekian-sekian, yang mengindikasikan tingkat kebiasaan membacanya moderate alias cukup.

Harap maklum, peserta yang berjumlah sekitar 50 orang itu adalah para pemerhati serius budaya baca dari kalangan aktivis pengelola taman bacaan masyarakat, dinas pendidikan daerah, kelompok kerja budaya baca, dan media. Asumsinya, semestinya tingkat kebiasaan membaca mereka tinggi. Namun itulah faktanya. Seperti diketahui, Asosiasi Perpustakaan Amerika memiliki parameter untuk mengukur tingkat kebiasaan membaca orang. Dinilai jarang (seldom) jika orang membaca buku per tahun di bawah 5 judul buku. Dinilai cukup (moderate) jika orang telah membaca 5 sampai 20 judul buku per tahun. Dan dinilai tinggi (frequent) jika buku yang dibaca berjumlah di atas 20 judul per tahun. 

Soal rendahnya kebiasaan membaca di Indonesia sudah berkali-kali disampaikan. Tetapi tetap saja perlu untuk dipaparkan. Studi Organisasi untuk Kerja Sama dan
Pengembangan Ekonomi (Organization for Economic Cooperation and Development, OECD), melalui program yang disebut Programme for International Student Assessment (PISA), pada 2006 menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak Indonesia--mencapai skor 392--masih jauh di bawah kemampuan rata-rata negara-negara OECD, yang mencapai skor 492. Skor tertinggi dipegang oleh Korea (556). Berikutnya adalah Finlandia (547), Hong Kong-Cina (536), Kanada (520),
dan Selandia Baru (530).
 

Lalu, berdasarkan laporan UNESCO-PBB 2008, minat baca masyarakat Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara menduduki peringkat keempat, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Fakta ini sejalan dengan laporan tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia dilaporkan relatif masih rendah dan makin turun. Pada 2007, Indonesia menempati peringkat ke-107 di dunia, dan pada 2009 justru turun pada posisi ke-111 di bawah negara-negara ASEAN lainnya.

Apa saja sebenarnya kendala pengembangan budaya baca? Secara idiil, dukungan kebijakan pemerintah di bidang pengembangan budaya baca cukup kuat. Ada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, yang dalam pasal 8 disebutkan antara lain bahwa pemerintah menjamin penyelenggaraan dan pengembangan perpustakaan di daerah' dan menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan.

Lalu, ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, yang mengamanatkan bahwa "pembangunan perpustakaan" diarahkan pada "Peningkatan Minat dan Budaya Gemar Membaca Masyarakat". Lalu, strategi yang ditempuh meliputi: (1) Penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai sarana pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat; (2) Revitalisasi perpustakaan; (3) Peningkatan ketersediaan layanan perpustakaan secara merata; (4) Peningkatan kualitas dan keberagaman koleksi perpustakaan; (5) Peningkatan promosi gemar membaca dan pemanfaatan perpustakaan; dan (6) Peningkatan kompetensi dan profesionalitas tenaga perpustakaan".

Juga ada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah dan pemerintah daerah, yang juga memuat pasal yang mendukung program ini. Disebutkan bahwa perpustakaan adalah salah satu dari 31 bidang urusan pemerintahan yang dibagi bersama di antara tingkatan dan/atau susunan pemerintahan (pasal 2 ayat 4); lalu perpustakaan salah satu dari 26 urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota (pasal 7); dan urusan pemerintahan yang bersifat wajib (perpustakaan)..., pembiayaannya bersumber dari APBD (pasal 8). Lalu, soal anggaran, mestinya pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Nasional, tak menghadapi kendala, karena sudah memperoleh kucuran 20 persen dari APBN.

Sebetulnya Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat yang membawahi langsung program pengembangan budaya baca dalam beberapa tahun terakhir ini telah melakukan beberapa gebrakan, misalnya dengan program TBM@Mall, yang cukup memperoleh liputan positif media, pemberian penghargaan bagi pengelola taman bacaan masyarakat yang kreatif, dan menggandeng beberapa tokoh populer yang berkomitmen untuk mendukung program ini. Namun dalam pelaksanaan di lapangan memang tidak sepenuhnya mulus. Sebagian masyarakat sendiri sebagai bagian dari pemangku kepentingan kurang mendukung program pengembangan budaya baca.
 
Misalnya, tak semua pengelola mal menerima dengan tangan terbuka ajakan kerja sama pembuatan TBM@Mall. Ini bisa dilihat dari respons ketika program ini dirintis dan ditawarkan ke sebuah asosiasi pengelola pusat belanja. 

Sebagian lembaga dan pengelola taman bacaan masyarakat juga harus dikritik, karena tak semua dari mereka menjalankan kewajiban dengan penuh amanah dan tanggung jawab setelah menerima dana dari pemerintah. Ada sebagian yang mengelola taman bacaan masyarakat yang kurang berkomitmen, misalnya bisa dilihat dari pemilihan koleksi buku yang tidak berkualitas, dan karena itu terlihat tidak sepenuh hati melayani dan mengajak masyarakat untuk gemar membaca. Atau, ada sebagian yang memang berniat menyimpangkan dana pemerintah yang mereka terima. Itu realitas di lapangan.

Jika sebagian masyarakat berperilaku seperti itu, setali tiga uang sikap sebagian pemerintah daerah. Dapat dikatakan bisa dihitung dengan jari pemerintah daerah yang memiliki komitmen menggelorakan gemar membaca. Bahkan ada sebagian dinas pendidikan daerah yang memotong dana block grant yang diterima taman bacaan masyarakat di daerahnya. Padahal Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 seperti tersebut di atas mewajibkan pemerintah daerah untuk mendukung program ini, bahkan melalui kucuran dana APBD. Juga ada undang-undang tentang perpustakaan seperti tersebut, walau harus diakui peraturan pemerintah untuk mendukung undang-undang itu belum dibuat hingga sekarang. Tapi toh ada daerah yang berani berinisiatif melancarkan program gemar membaca, dan siap menyesuaikan diri jika peraturan pemerintah beres di kemudian hari. Birokrasi pemerintah pusat memang banyak juga memiliki sisi-sisi lemahnya dalam menjalankan program pengembangan budaya baca, namun lihat ternyata masyarakat juga memiliki andil kesalahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar