Selasa, 13 September 2011

Bacalah!

Sumber: Kompas, 12 November 2010
Judul: Bacalah! Menghidupkan Kembali Semangat Membaca Para Mahaguru Peradaban
Peresensi: Ali Rif’an
Penulis: Suherman, M.Si.
Penerbit: MQS Publishing
Sampai hari ini, minat baca orang Indonesia masih terbilang rendah. Data dari United Nations Development Programme (UNDP), misalnya, menyebutkan dalam hal minat baca, Indonesia menempati peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Bahkan untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara di bawah peringkat Indonesia, yakni Kamboja dan Laos.
Apa sebenarnya penyebab rendahnya minat baca di Indonesia? Suherman melalui buku ini, secara spesifik, menyebutkan dua faktor. Pertama, faktor determinisme genetic, yakni warisan orangtua. Seseorang tidak suka membaca karena memang sejak kecil dibesarkan oleh orangtua yang tidak pernah mendekatkan dirinya pada bacaan.
Kedua, determinisme lingkungan. Orang tidak senang membaca karena lingkungan, teman-teman, rekan kerja, guru, atau dosen tidak senang membaca; di samping itu juga di rumah, di kantor, di sekolah tidak disediakan perpustakaan; serta tidak ada peraturan perusahaan/instansi yang mengharuskan seseorang untuk membaca.

Sosialisasi
Namun demikian, selain dua faktor di atas, Suherman menduga bahwa rendahnya minat baca di Indonesia juga dipengaruhi oleh keadaan ekonomi masyarakatnya yang masih lemah, kurangnya perhatian pemerintah, harga buku masih terlampau mahal, dan minimnya sosialisasi akan pentingnya membaca. Bahwa membaca adalah pintu gerbang masuknya segala informasi dan ilmu pengetahuan merupakan hal yang penting untuk diketahui bagi segenap anak bangsa. Syarat untuk menjadi orang besar atau pahlawan ialah berfikir besar dan memiliki cita-cita tinggi. Sedangkan syarat fundamental untuk menggapainya adalah mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya, yang instrument utamanya adalah membaca.
Membaca menjadi titik kisar tumbuh-kembangnya suatu peradaban. Dalam Islam, misalnya, membaca justru perintah pertama dan utama sebelum diperintahkan yang lainnya. Islam pernah menjadi sokoguru peradaban dunia yang menguasahi lebih dari separuh jagat ini. Jika ditelusuri, peletak dasar ilmu-ilmu yang ada sekarang adalah lahir dari tangan-tangan para ulama yang memiliki kegilaan dalam membaca.
Dalam konteks keindonesiaan, tragedi kemiskinan dan kemelut pendidikan yang sedang terjadi sekarang ini salah satunya akibat dari tidak adanya kesadaran dan rendahnya minat baca. Kemajuan suatu bangsa dan peradaban sangat berkelindan dengan kegetolan masyarakatnya menyelami dunia literasi. Sebab, di negara maju semisal AS dan Jepang, setiap individu-individu memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan di negara maju memiliki waktu baca delapan jam dalam sehari, sementara di negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya dua jam setiap harinya (hlm 128).
Barangkali mereka sadar bahwa membaca merupakan aktivitas vital yang harus diselami jika ingin sukses di dunia ini. Jika pangan, sandang, dan papan adalah kebutuhan primer manusia secara fisik (badan), maka buku dan bahan bacaan lainya adalah kebutuhan primer manusia secara non-fisik, rohani (otak).
Dengan alasan itulah, buku selayaknya kita jadikan sebagai menu harian yang hampir sebanding dengan pangan, sandang, dan papan. Kita harus sadar bahwa buku adalah pengusung peradaban. Tanpa buku, sejarah diam, sastra bungkam, sains lumpuh, dan pemikiran macet. Buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudera waktu.
Buku adalah gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Pendidikan tanpa membaca bagaikan raga tanpa ruh. Fenomena “pengangguran intelektual” tidak akan terjadi apabila siswa dan mahasiswa memiliki semangat membaca yang membara. Tradisi literasi telah menjadi nafas kehidupan para ulama terdahulu dan bagi mereka yang telah sukses meraih mimpinya. Kita bisa tengok tokoh-tokoh dunia semisal Karl Marx, Imam Khomeini, Mahatma Ghandhi, Hasan al-Banna, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan seterusnya. Mereka adalah tokoh dunia yang sukses lantaran memiliki gegirangan membaca.
Perubahan Paradigma
Karena itu, jalan menuju perubahan budaya baca bisa dilakukan dengan cara merubah paradigma. Dengan kata lain, membaca selayaknya dijadikan kebutuhan jika ingin bertahan hidup dalam persaingan global yang semakin kompetitif. Sebab, menggeliatnya persoalan kebangsaan yang melanda negeri ini, pada dasarnya tidak lepas dari minimnya pembacaan fenomena yang terjadi pada realitas sosial. Runtuhnya suatu peradaban juga tidak semata disebabkan oleh masalah politik dan kekuasaan. Yang paling utama adalah hilangnya élan vital dalam membaca.
Alex Inkeles, profesor sosiologi emeritus pada Hoover Institute, Universitas Stanford (hlm 133), pernah mengatakan bahwa ciri-ciri manusia modern dan maju itu dapat dilihat dari dua sudut, yakni eksternal dan internal. Sudut eksternal berkaitan dengan lingkungan, dan mudah dikenali. Seperti urbanisasi, komunikasi massa, industrialisasi, kehidupan politik dan pendidikan, dan seterusnya. Sementara sudut internal justru tidak tampak. Seperti pola pikir, perasaan kita, visi kita, dan seterusnya. Kedua sudut ini pun harus menjadi setali dua mata uang yang saling berkelindan, berkaitan.
Namun yang jamak kita saksikan, sekalipun lingkungannya sudah modern, tidak dengan sendirinya kita menjadi modern. Padahal, kita baru bisa dikatakan modern kalau dapat merubah perilaku dan pola pikir kita. Ciri-ciri manusia modern adalah jika ia mau membuka diri terhadap pengalaman baru, inovasi dan perubahan. Maka, jendela dunia akan terbuka. Itu semua bisa terjadi pada awalnya lewat bacaan.
Untuk itu, budaya visual yang lebih dominant di negeri harus digantikan dengan tradisi literasi. Budaya baca harus ditumbuhkan. Untuk membangkitkan dan membangun minat baca tidak hanya harus dilandaskan pada lingkungan atau kondisi, tetapi juga dapat didasarkan pada pilihan yang sadar. Membaca bukanlah kewajiban yang datang dari luar dan harus dilakukan dengan terpaksa, melainkan sebuah kebutuhan yang timbul dari dalam diri dan tentu saja akan dilakukan dengan senang hati.
Buku besutan alumnus Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Padjadjaran sekaligus pendiri dan ketua Masyarakat Literasi Indonesia ini menarik untuk disimak. Meski hanya 154 halaman, tapi hampir di tiap lembarnya menghadirkan letupan “gizi” bagi pembaca. Sebagai penutup. Seorang teman pernah berkelakar ketika selesai membaca buku ini, “Buku ini ibarat oase di padang gersang. Di tengah-tengah akutnya buta aksara di Indonesia, buku ini layak sekali untuk dibaca!”
*) Peresensi adalah Pengamat Buku, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar